Jejak Politik Keturunan Arab di Hindia Belanda: Antara Kolaborasi, Klaim Garis Nasab, dan Perlawanan
Pendahuluan
Di tengah semangat kebangsaan Indonesia, peran kelompok Arab terutama yang dikenal sebagai Habaib atau Habib sering mendapat sorotan.
Di satu sisi mereka dikenal sebagai tokoh keagamaan yang berpengaruh, namun di sisi lain ada jejak kolaborasi dengan kekuasaan kolonial Belanda.
Lebih dari itu, terdapat pula perdebatan mengenai klaim garis keturunan mereka dari Nabi Muhammad SAW klaim yang masih kontroversial dan tidak pernah terbukti secara ilmiah.
Artikel ini akan membahas peran politik sebagian Habaib, konteks kolonialnya, serta mempertanyakan validitas klaim keturunan tersebut.
Klaim Keturunan Nabi: Antara Tradisi Lisan dan Ketiadaan Bukti Ilmiah
Secara umum, Habaib mengklaim bahwa mereka adalah keturunan Nabi Muhammad SAW melalui jalur Sayyidina Ali dan Sayyidah Fatimah. Klaim ini diturunkan dari generasi ke generasi, dan dijaga melalui nasab yang disalin secara manual oleh para pencatat silsilah keluarga (mu'arrikh atau nasabiyyin).
Namun, hingga hari ini:
Tidak ada bukti DNA yang menunjukkan hubungan biologis antara para Habib dengan Nabi Muhammad, karena tidak ada sampel genetis resmi dari Nabi yang bisa diverifikasi secara ilmiah.
Beberapa pihak pernah mengusulkan uji DNA atas sebagian keluarga Habaib, namun sering kali usulan ini ditolak atau dihindari dengan alasan kesakralan dan penghormatan kepada nasab.
Akibatnya, klaim ini berdiri sepenuhnya pada tradisi lisan dan dokumen silsilah internal, yang rentan manipulasi dan tidak memiliki standar verifikasi objektif.
Hal ini menimbulkan pertanyaan di kalangan akademisi dan masyarakat kritis: apakah pantas sebuah kelompok sosial mengklaim superioritas spiritual dan sosial hanya karena nasab yang tidak bisa diverifikasi?
Habaib dalam Struktur Kolonial: Status Istimewa dan Kolaborasi Politik
Pada era Hindia Belanda, kelompok Hadhrami (Arab) digolongkan sebagai Vreemde Oosterlingen (Timur Asing), bersama dengan orang Tionghoa.
Ini memberi mereka status di atas pribumi, namun tetap di bawah Eropa. Beberapa tokoh keturunan Arab kemudian menjalin hubungan baik dengan pemerintah kolonial, seperti:
Sayyid Abdullah bin Alwi Alatas, saudagar kaya di Batavia, yang memiliki jaringan dagang dan komunikasi dengan penguasa kolonial.
Beberapa Kapitan Yaman diangkat secara resmi oleh pemerintah kolonial untuk mengontrol komunitas Arab, menjadikan mereka alat politik Belanda secara tidak langsung.
Kolaborasi ini tidak hanya bersifat administratif, tapi juga menciptakan stratifikasi sosial antara Arab dan pribumi. Dalam konteks politik divide et impera, Belanda berhasil memanfaatkan elit Yaman Hadhrami untuk menjaga kestabilan kolonial dan menekan semangat nasionalisme pribumi.
Kelompok Habaib juga beragam, dan tidak bisa digeneralisasi. Namun, penting untuk dicatat bahwa sebagian kecil dari mereka menggunakan status nasab (yang tidak terverifikasi) untuk membangun pengaruh politik dan sosial, bahkan di masa penjajahan.
Penutup: Saatnya Menilai dengan Akal Sehat dan Ilmu Pengetahuan
Sejarah Indonesia mencatat bahwa perjuangan melawan kolonialisme dilakukan oleh berbagai kelompok dari beragam latar belakang. Klaim garis keturunan Nabi, jika tidak dapat dibuktikan, tidak boleh menjadi alat untuk menjustifikasi superioritas sosial atau politik apalagi jika digunakan dalam konteks kekuasaan kolonial yang menindas.
Meninjau ulang sejarah secara kritis bukanlah bentuk kebencian, melainkan bentuk kematangan intelektual. Sebagaimana Indonesia adalah negeri yang merdeka atas dasar persatuan, bukan atas dasar darah bangsawan atau garis keturunan.
Berikut ini adalah penjelasan dan data sejarah mengenai dua tokoh keturunan Arab-Yaman yang terlibat dalam konflik separatis atau kemerdekaan di wilayah Indonesia:
1. Mari Alkatiri (Timor Leste)
Nama lengkap: Dr. Mari bin Amude Alkatiri
Lahir: 26 November 1949, Dili, Timor Portugis
Keturunan: Hadhrami Arab (Yaman)
Peran: Perdana Menteri pertama Timor Leste (2002–2006, 2017–2018)
Keterlibatan: Tokoh penting dalam gerakan kemerdekaan Timor Timur dari Indonesia. Ia merupakan anggota Fretilin (Revolutionary Front for an Independent East Timor) dan berperan besar di bidang diplomasi internasional untuk menggalang dukungan lepas dari Indonesia pasca-invasi 1975.
Alkatiri selama masa pengasingan banyak beraktivitas di Afrika (Mozambik) dan memainkan peran sebagai "arsitek diplomatik" kemerdekaan Timor Leste.
2. Thom Al-Hamid (Papua)
Nama yang biasa dirujuk: Thom van den Hamid, kadang disebut “Al-Hamid” karena latar Hadhrami
Keterkaitan dengan keluarga Arab-Hadhrami (Yaman) di wilayah timur Indonesia
Meskipun datanya tidak sebanyak Alkatiri, nama Al-Hamid muncul dalam beberapa dokumen era Orde Baru sebagai simpatisan awal gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka), terutama dalam jalur pasokan logistik dan diplomasi informal.
Tidak tercatat sebagai tokoh besar publik, namun disebut dalam beberapa laporan intelijen dan jurnal kolonial pasca-1960-an sebagai "figur diaspora" yang memberikan simpati dan akses jalur Yaman atau Timur Tengah bagi kelompok separatis.
"Dua Jalur Pisau: Peran Diaspora Yaman dalam Pemisahan Wilayah dari NKRI"
Di sisi kiri: Gambar Mari Alkatiri berdiri dengan latar bendera Timor Leste, dokumen-dokumen Fretilin, dan tulisan “From Diplomacy to Independence”.
Di sisi kanan: Siluet Thom Al-Hamid dengan latar peta Papua dan lambang OPM samar, ada jalur koneksi garis merah dari Timur Tengah (peta Yaman) ke Papua.
Di tengah: Peta Indonesia yang retak bagian Timor dan Papua, dengan judul “Jaringan Diaspora: Dari Leluhur Hadhrami ke Politik Pemisahan”
Tokoh Ba'alwi yang dikenal terlibat dalam PKI adalah D.N. Aidit, yang menjabat sebagai Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI). Nama marga Aidit dikaitkan dengan keturunan Ba'alwi dari Yaman.
D.N. Aidit adalah tokoh kunci dalam PKI dan menjadi tokoh sentral dalam peristiwa G30S/PKI. Setelah kemerdekaan, banyak keluarga Ba'alwi yang aktif dalam politik, termasuk D.N. Aidit.
Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945, keluarga Ba’alwi banyak yang aktif dalam perpolitikan Indonesia, diantaranya D.N. Aidit yang menjadi Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI). Pengakuan bahwa Aidit adalah nama marga dari Yaman diungkapkan oleh anak Aidit, Ilham Aidit
Aidit sendiri dihukum mati di Boyolali pada 23 November 1965 karena diduga menjadi dalang di balik Gerakan 30 September, sebuah kudeta komunis yang gagal. Selain Aidit, marga Ba’alwi yang menjadi anggota PKI juga adalah Ahmad Sofyan Baroqbah. Ia dieksekusi mati pada 19 Januari 1974, setelah diburu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia selama bertahun-tahun di Kalimantan Barat.
Seorang marga Ba’alwi di Kalimantan Timur, Fahrul Baraqbah, juga anggota PKI yang ditangkap pasca meletusnya Gerakan 30 September.
Sayyid Alwi bin Tahir al-Haddad (disebut dalam konteks gerakan progresif, bukan komunis murni)
Latar belakang: Ulama dan cendekiawan Hadhrami.
Catatan: Meski bukan komunis, ia dikenal sebagai pembela gerakan anti-kolonial dan berpikiran modern. Sebagian keturunannya atau murid-muridnya di era 1950-1960 ada yang bersimpati pada gerakan kiri, terutama karena keterlibatan dalam perlawanan terhadap struktur feodal dan kolonial.
Nama ini kadang dimunculkan karena afiliasi sosial politik progresif dari sebagian keturunan Yaman Hadhrami.
Keturunan Yaman Hadhrami Lain di Lingkaran Kiri
Beberapa tokoh intelektual dan aktivis dari komunitas Yaman-Indonesia (Hadhrami) juga diketahui bersimpati atau terlibat dalam organisasi kiri nasionalis, meski bukan selalu PKI secara formal. Di antaranya:
Beberapa tokoh di Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) – tidak semua teridentifikasi secara publik, namun struktur LEKRA cukup inklusif dan mencakup etnis Yaman di beberapa kota besar seperti Surabaya dan Jakarta.
Keturunan Arab dalam Sarekat Islam Merah – sebelum pecahnya Sarekat Islam, sejumlah simpatisan kiri berasal dari keluarga Yaman.
Tag: sejarah Indonesia, habaib, klaim keturunan nabi, kolonialisme Belanda, keturunan Arab, politik identitas, kritik sejarah
0 Komentar