Ticker

6/recent/ticker-posts

Ad Code

Responsive Advertisement

SIAPA SEBENARNYA WALID DALAM FILM BIDAAH MALAYSIA?

Dalam film kontroversial “Bidaah” produksi Malaysia yang secara halus menyentil realitas sosial dan keagamaan, muncul satu tokoh sentral: Walid. Nama ini bukanlah sekadar nama fiktif. Ia sarat simbolisme, akar sejarah, dan narasi politik serta agama yang kompleks.

1. Arti “Walid” dan Akar Yaman:

Dalam bahasa Arab — khususnya dialek yang digunakan oleh kaum Hadhrami (Yaman Selatan), “Walid” (والد) berarti ayah kandung. Kata ini tidak hanya berarti biologis, tapi juga bermuatan simbolik: pemimpin, pembimbing, dan pewaris garis darah. 

Di kalangan Habib atau Habaib keturunan Hadhramaut, khususnya marga Ba’alawi, istilah ini sering digunakan sebagai gelar penghormatan informal seseorang yang menjadi pusat dari sebuah “keluarga rohani”.

Di Malaysia, kata ini mulai masuk ke dalam budaya lokal melalui komunitas Yaman-Melayu sebuah kolaborasi historis antara pedagang dan ulama Gujarat, Bangladesh, India, Hadhrami yang hijrah sejak abad ke-15 ke Nusantara, dan yang kelak mengembangkan jaringan spiritual-politik melalui tarekat, madrasah, serta pernikahan elit.

2. Kaum Ba’alawi: Uang, Agama, dan Perempuan

Kaum Ba’alawi dikenal sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW melalui jalur Sayyidina Husein. Gelar Habib (untuk pria) dan Syarifah (untuk wanita) menjadi identitas eksklusif. Mereka dikenal sebagai ulama, pemuka tarekat, penceramah namun juga elit sosial.
Dalam praktiknya, banyak dari mereka membangun kerajaan finansial lewat agama: berdakwah, membuka pesantren, menjual air doa, jimat, minyak wangi, hingga ceramah VIP.

Popularitas kaum ini sangat tinggi, terutama di Indonesia dan Malaysia.

Tapi satu realitas yang sering tak diungkapkan adalah pilihan selektif terhadap wanita hanya wanita yang disukai dan bisa “diangkat” yang akan dinikahi. Sementara yang lain hanya menjadi pengikut, pelayan spiritual, atau donatur.

Dan yang lebih problematik: wanita keturunan Syarifah dilarang dinikahi oleh pria pribumi Malaysia atau Melayu biasa, karena dianggap sebagai pelanggaran “nasab” keturunan.

Ini bukanlah sistem kasta secara formal, tapi secara de facto, ini adalah segregasi nasab. Pembenaran mereka bersumber dari kitab-kitab yang ditulis oleh ulama-ulama mereka sendiri, tanpa ada verifikasi ilmiah atau genealogis dari dunia luar. 

Bahkan tes DNA sering kali dihindari, karena besar kemungkinan akan menampilkan hasil campuran atau non-Arab.

3. Walid di Film "Bidaah": Simbol Tokoh Habib yang Menjadi Raja Kecil

Dalam film Bidaah, Walid digambarkan mengenakan sorban tinggi khas Yaman, jubah putih panjang, serta tongkat  lambang kepemimpinan spiritual. Ia tidak hanya memimpin majelis dzikir, tapi juga mengatur komunitas tertutup di sebuah wilayah terpencil. 

Ironisnya, semua anak-anak kecil laki-laki yang ia besarkan disebut “Muhibbin”  pasukan kecil penerus jalan suci, yang sebagian besar berasal dari wanita Melayu pribumi yang ditampung, dibina, lalu dinikahi secara diam-diam atau siri.

Walid punya banyak istri semua dianggap “dibantu” dari kemiskinan atau trauma masa lalu. 

Namun film ini menyiratkan bahwa itu bukanlah bentuk kasih sayang, melainkan rekayasa religius untuk membangun loyalitas tanpa perlawanan.

4. Titik Balik: Negara dalam Negara

Kekuasaan Walid mulai dianggap mengancam saat ia:

Mengatur hukum sendiri dalam komunitasnya.

Menolak campur tangan pemerintah Malaysia.

Menyebarkan ajaran yang dianggap menyimpang dari mazhab resmi negara.

Menguasai lahan dan ekonomi komunitas tanpa pengawasan.

Akhirnya pemerintah Malaysia menurunkan aparat, membongkar basisnya, dan menangkap Walid atas tuduhan membuat “negara dalam negara”  satu bentuk pemberontakan terselubung berkedok agama.

5. Simbol atau Realita?

Film Bidaah membuka ruang tafsir: apakah ini hanya fiksi, atau gambaran simbolik dari realitas yang tengah berlangsung? Apakah Walid adalah gambaran kolektif dari banyak tokoh agama populer yang tak tersentuh hukum karena berselimut jubah putih?

Jawabannya barangkali bukan tugas film, tapi tugas kita bersama: memeriksa ulang antara agama dan kekuasaan, antara dakwah dan dominasi, antara darah keturunan dan hakikat kemuliaan.


Catatan tambahan:
Film ini secara cerdas menggunakan nama “Walid” bukan hanya untuk makna harfiah sebagai “ayah”, tapi sebagai metafora bagi figur paternalistik dalam agama yang tidak hanya mengasuh, tapi juga menguasai dan memanipulasi.

Posting Komentar

0 Komentar